Tentang Kenaikan Pajak Restoran, Ini Klarifikasi Kepala BPKK Banda Aceh
Banda Aceh – Terkait pemberitaan tentang kenaikan Pajak Restoran sebesar 300 persen, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Kota Banda Aceh M. Iqbal Rokan menyampaikan klarifikasi. Dalam keterangannya kepada media, Iqbal menyampaikan bahwasanya Pajak Restoran merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota yang nilainya ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Pengelola usaha selaku Wajib Pajak berkewajiban untuk melakukan pengutipan, pelaporan, dan pembayaran Pajak Restoran sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah.
“Dalam aturan Qanun Kota Banda Aceh nomor 7 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran, tarifnya diatur sebesar 10% dari nilai transaksi. Misalnya segelas kopi dijual Rp. 10.000, maka total harga yang harus dibayar oleh konsumen setelah dikenakan pajak adalah Rp. 11.000. Pajak Restoran sebesar Rp. 1000 tersebut dikutip oleh pengelola usaha dan sesuai ketentuan, harus dilaporkan secara mandiri (self assessment) kepada pemerintah untuk kemudian dilakukan penetapan dan disetorkan ke kas daerah. Jadi pada dasarnya Pajak Daerah tidak mengurangi laba apalagi menambah beban operasional yang harus ditanggung Wajib Pajak”, Jelasnya.
Namun menurut Iqbal, selama ini masih terdapat Wajib Pajak di Banda Aceh yang berupaya menghindari kewajiban perpajakan tersebut. Para Wajib Pajak ini umumnya enggan untuk melaporkan pajak yang dikutip dari konsumen.
“Maka dari itu, BPKK Banda Aceh selaku OPD pengelola Pajak Daerah menetapkan nilai pajak secara jabatan (Official Assessment) terhadap Wajib Pajak yang tidak melakukan pelaporan Pajak Restoran”, Ungkap Iqbal.
Lebih lanjut Iqbal menjelaskan bahwa penetapan nilai Pajak Restoran itu dilakukan berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh petugas BPKK Banda Aceh. Pendataan tersebut dilakukan secara berkala yang bertujuan untuk melakukan pemutakhiran data Wajib Pajak. Pendataan yang dilakukan mencakup pendaftaran Wajib Pajak baru, Verifikasi Wajib Pajak yang telah tutup usaha permanen atau pindah domisili, hingga penghitungan potensi omset pada masing-masing usaha milik Wajib Pajak.
“Untuk penghitungan potensi, variabelnya mulai dari jumlah kursi, jumlah pengunjung, rekening listrik dan PDAM, hingga jumlah tenaga kerja pada usaha milik Wajib Pajak. Bahkan pada usaha warung kopi, petugas kami juga mencari informasi tentang rata-rata penggunan bubuk kopi setiap hari sehingga dengan begitu, kita dapat melakukan estimasi omset perharinya. Data itulah yang kemudian menjadi dasar penyesuaian nilai ketetapan Pajak Restoran”, Tuturnya.
Iqbal menyebutkan bahwa penyesuaian nilai ketetapan inilah yang dianggap sebagai kenaikan tarif Pajak Restoran di Kota Banda Aceh. Padahal kata Iqbal, penyesuaian itu dilakukan kepada Wajib Pajak yang tidak melakukan pelaporan dan nilainya tetap 10% dari estimasi omset sesuai dengan hasil pemutakhiran data potensi Wajib Pajak.
Pada kesempatan yang sama Iqbal juga menghimbau para Wajib Pajak dapat menaati aturan terkait Pajak Daerah dan ikut serta mengawasi penggunaannya. Salah satu wujud ketaatan tersebut adalah dengan melakukan pelaporan pajak secara mandiri. Menurutnya, dengan melakukan pelaporan maka pengusaha lebih diuntungkan sebab jumlah pajak yang harus dibayar akan sesuai dengan jumlah omset yang dilaporkan.
“Namun harus di ingat, Wajib Pajak harus jujur dalam melakukan pelaporan sebab itu adalah uang masyarakat yang dititipkan kepada pengelola usaha untuk disetorkan ke kas daerah. Dana hasil pajak itulah yang akan dimanfaatkan untuk pembangunan dan peningkatan mutu pelayanan publik di Kota Banda Aceh.”, Pungkasnya.
Views: 0